Dinamika Perkembangan Kebijakan Dalam Penerapan Perhutanan Sosial

NARASI24.ID – Dinamika kebijakan yang mendorong implementasi tentang sosial forestri dan bagaimana cara masyarakat sipil melihat kebijakan dan kebutuhan yang ada dimasyarakat hal ini meliputi:

1. Era Tekanan Dunia pada Perubahan Paradigma Pengelolaan hutan
2. Rentetan Regulasi Awal “Memberikan Ruang Kelola Kelompok
Masyarakat”
3. Tantangan Kedepan bagi Generasi
Selanjutnya

Era Tekanan Dunia pada Perubahan Paradigma Pengelolaan hutan

SDH dieksploitasi untuk pembangunan, hal ini mengakibatkan eksploitasi besar-besaran. Eksploitasi terus menerus dikhawatirkan tidak dapat dikendalikan sehingga pada tahun 1978 diadakan kongres di Jakarta dengan tema forest for people, banyak orang memikirkan eksploitasi SDH juga harus memikirkan masyarakat. Pada tahun 1991 Departemen Kehutanan mewajibkan pemegang HPH untuk melaksanakan HPH Bina Desa Hutan, melalui SK Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/1991 tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan Hutan.

Rentetan Regulasi Awal “Memberikan Ruang Kelola Kelompok
Masyarakat”

Arah perubahan kebijakan tahun 1995 dituangkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan (Kepmen 622/1995). Hutan Kemasyarakatan masuk dalam program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Implikasinya ditujukan untuk kawasan hutan dengan fungsi produksi dan lindung yang telah rusak. Pemanfaatannya diperbolehkan untuk mengelola Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) terhadap hutan produksi dan hanya Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk HKm pada hutan lindung.

Perkembangan sejarah-nya Perhutanan Sosial (PS) diawali dengan adanya catatan perubahan paradigma dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat, yaitu pengelolaan hutan yang harus melibatkan dan menyejahterakan masyarakat sekitar hutan. Kebijakan tersebut, saat ini dikenal sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hal mendasar yang diamanatkan dalam kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan
(HPHKm) berbentuk Izin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan mewajibkan pemegang izin untuk menyusun Rencana Pemanfaatan yang dapat dinilai oleh pemerintah, lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum.

Pada tahun 1997, perubahan kebijakan melalui
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1997 tentang Hutan Kemasyarakatan (Kepmen 677/1997). Pada tahun 1999, dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka Kepmen 677/1997 disesuaikan menjadi Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 865/KptsII/1999 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1997 tentang Hutan
Kemasyarakatan. Pada tahun 2001, kebijakan pengelolaan HKm mengalami perubahan yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-ll/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan (Kepmen 31/2001).

PermenLHK.83/2016 menjelaskan bahwa 5 Skema Perhutanan Sosial meliputi Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan
Kehutanan. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam hutan Negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Hak, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. Peraturan ini mengamanatkan pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR) dengan mengacu pada Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). IPHPS di berikan kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani. Tujuannya, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sehingga lahirlah kebijakan, Pada tahun 2014, Pemerintah mengganti P.37/2007, P.18/2009, P.13/2010 dan P.52/2011 dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.88/MenhutII/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan (P.88/2014). Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum pada hutan kemasyarakatan, yaitu memberikan kepastian dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan, serta secara tegas mengupayakan adanya peluang lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan serta untuk menyelesaikan persoalan sosial.

Peraturan Terkini secara detail Tentang Perhutanan Sosial
Undang Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, secara detil akan tindak lanjuti dengan peraturan pemerintah sesuai dengan ketentuan ketentuan Pasal 36 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor l1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Kehutanan;

Secara spesifik UU Cipta Kerja telah menyebutkan definisi Perhutanan Sosial di Pasal 29a, 29b, dan 30. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut Pasal 29A ayat (1) berbunyi, “pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 dan pasal 28 dapat dilakukan kegiatan perhutanan Sosial”. Sedangkan dalam ayat (2) berbunyi, “Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapart diberikan kepada (a) Perorangan (b) kelompok tani hutan, dan (c) koperasi. Dan Pasal 28B berbunyi, ‘ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tantangan kedepan bagi Generasi Selanjutnya

• Dampak pertambahan penduduk dan tingginya tuntutan ekonomi dan kebutuhan lain rumah tangga memicu peningkatan pemanfaatan hutan oleh masyarakat di sekitarnya dalam kurun tahun 1970-1990-an.
• Aktivitas warga di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dilakukan tanpa izin mengakibatkan tekanan terhadap sumberdaya hutan semakin meningkat. Kondisi ini terus berlangsung meskipun melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1982 pemerintah telah mengubah status kawasan dari Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung.
• Jika tidak ditangani dengan baik seiring waktu akan menimbulkan bencana kehancuran kawasan hutan dan kemiskinan masyarakat yang semakin parah.

Terdapat konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat yang diberi fasilitas pendanaan dalam melakukan riset pengelolaan hutan yang pada prakteknya dilakukan oleh masyarakat. Seperti Lembaga Masyarakat Lempu dan tembawang di Kalimantan, dan repong di Krui. Pengelolaan Sumber Daya Hutan tidak hanya terbatas pada kayu, hal ini berdasarkan riset yang dilakukan melalui pendampingan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat baik lokal maupun internasional dan masyarakat sebagai aktor utama yang masuk kedalam sistem hutan. Peran LSM dilapangan sebagai pendamping dan memetakan wilayah dan potensi hutan masyarakat, juga menonjolkan aturan adat yang merupakan kearifan lokal yang patut dipertahankan.

Dinamika politik yang memungkinkan adanya pergantian pemerintah, berdampak pada perubahan kebijakan. Setiap perubahan dalam kebijakan belum tentu dipahami masyarakat, untuk itu perlu inventarisasi sebagai bahan untuk menyampaikan secara lugas kepada masyarakat. Survei Hutan Bukan Kayu dalam hal ini Rotan, terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, dimana masyarakat hanya memikirkan hari ini guna mendapatkan hasil namun tidak memikirkan regulasi yang berpihak pada keberlanjutan. Perubahan Kebijakan perlu dilakukan sebagai perbaikan dan perubahan. Kajian dinamika Sosial budaya pada program social forestry membahas jumlah dan eskalasi konflik social pengelolaan hutan. Praktek-praktek pengetahuan lokal dalam pengelolaan hutan seperti Lembo di Kalimantan, kebun rotan Bentian, kebun kemenyan di Tapanuli Utara,


kebun karet di Jambi, tengkawang di Sanggau, Kalimantan Barat. Contoh nyata pemanfaatan kearifan lokal dapat menjadi pembelajaran bagi para pengambil keputusan di daerah untuk lebih mengoptimalkan kearifan lokal untuk menjaga dan melestariakan hutan dalam rangka menyejahterakan masyarakat lokal.

Realitas kegiatan pengelolaan hutan selama ini yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan yang memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan.

Dosen Pengampu
Proff. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P., IPU
Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si
Dr. Indra Gumay Febryano, M.S

Disusun oleh Tim Redaksi
Adella Putri Apriliani, Dhiaulhaq Luqyana Nizamul, Novri Dwi Damayanti, Novitasari, Dody
Swiyono, Luqeeto Lazuardi Nur

(Visited 16 times, 1 visits today)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *